Daily Trend - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Republik Indonesia, Mahfud MD, telah memberikan penjelasan mengenai situasi hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, yang melibatkan perusahaan. Menurutnya, Surat Keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah tersebut dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002.
Mahfud menjelaskan bahwa pada tahun 2004, hak atas penggunaan tanah ini kemudian dialihkan kepada pihak lain. Hal ini terjadi karena tanah tersebut belum digarap atau dimanfaatkan sebelumnya sebelum investor masuk.
Situasi menjadi rumit ketika investor mulai memasuki Pulau Rempang pada tahun 2022. Pemegang hak asalnya datang ke pulau ini dan menemukan bahwa tanah yang sebelumnya mereka miliki sudah ditempati oleh pihak lain. Ini memunculkan kebingungan, terutama terkait dengan keputusan pemerintah setempat dan pusat, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Untuk mengatasi kebingungan ini, kekeliruan tersebut telah diperbaiki, dan hak atas tanah tersebut kini kembali dimiliki oleh perusahaan sesuai dengan SK yang dikeluarkan pada tahun 2001 dan 2002.
Mahfud menjelaskan bahwa sumber permasalahan saat ini adalah proses pengosongan tanah yang diperlukan untuk mengembalikan hak asalnya. Ini bukan masalah hak atas tanahnya atau hak guna usahanya. Namun, ini juga menimbulkan isu hukum karena beberapa orang telah tinggal di tanah tersebut selama bertahun-tahun.
Terkait dengan status tanah yang mungkin merupakan tanah ulayat, Mahfud mengakui bahwa dia tidak memiliki informasi mengenai hal tersebut. Namun, ia menegaskan bahwa proses pemberian hak atas tanah tersebut telah dilakukan secara sah oleh pemerintah.
Jika ada pertanyaan lebih lanjut tentang tanah ulayat di Pulau Rempang, Mahfud menyebut bahwa data yang relevan mungkin dapat ditemukan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Mahfud juga mengklarifikasi bahwa ada 5-6 surat keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), tetapi semuanya telah dibatalkan karena adanya kesalahan setelah melihat dasar hukumnya. Hal ini dianggap lebih tepat daripada membiarkan situasi tersebut terus berlarut-larut, terutama ketika banyak investor berminat untuk berinvestasi di Pulau Rempang dan menemukan kendala terkait kepemilikan tanah.